BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Jumat, 13 November 2009

pegolakan-pergolakan di berbagai daerah

ANGKATAN PERANG RATU ADIL
Peristiwa Kudeta Angkatan Perang Ratu Adil atau Kudeta 23 Januari adalah peristiwa yang terjadi pada 23 Januari 1950 dimana segerombolan orang bersenjata di bawah pimpinan mantan Kapten KNIL Raymond Westerling yang juga mantan komandan pasukan khusus (Korps Speciaale Troepen), masuk ke kota Bandung dan membunuh semua orang berseragam TNI yang mereka temui. Aksi gerombolan ini telah direncanakan beberapa bulan sebelumnya oleh Westerling dan bahkan telah diketahui oleh pimpinan tertinggi militer Belanda.
Latar belakang

Pada bulan November 1949, dinas rahasia militer Belanda menerima laporan, bahwa Westerling telah mendirikan organisasi rahasia yang mempunyai pengikut sekitar 500.000 orang. Laporan yang diterima Inspektur Polisi Belanda J.M. Verburgh pada 8 Desember 1949 menyebutkan bahwa nama organisasi bentukan Westerling adalah "Ratu Adil Persatuan Indonesia" (RAPI) dan memiliki satuan bersenjata yang dinamakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Pengikutnya kebanyakan adalah mantan anggota KNIL dan yang melakukan desersi dari pasukan khusus KST/RST. Dia juga mendapat bantuan dari temannya orang Tionghoa, Chia Piet Kay, yang dikenalnya sejak berada di kota Medan.

Pada 5 Desember malam, sekitar pukul 20.00 dia menelepon Letnan Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda, pengganti Letnan Jenderal Spoor. Westerling menanyakan bagaimana pendapat van Vreeden, apabila setelah penyerahan kedaulatan Westerling berencana melakukan kudeta terhadap Sukarno dan kliknya. Van Vreeden memang telah mendengar berbagai kabar, antara lain ada sekelompok militer yang akan mengganggu jalannya penyerahan kedaulatan. Juga dia telah mendengar mengenai kelompoknya Westerling.

Jenderal van Vreeden, sebagai yang harus bertanggung-jawab atas kelancaran "penyerahan kedaulatan" pada 27 Desember 1949, memperingatkan Westerling agar tidak melakukan tindakan tersebut, tapi van Vreeden tidak segera memerintahkan penangkapan Westerling.
Surat ultimatum

Pada hari Kamis tanggal 5 Januari 1950, Westerling mengirim surat kepada pemerintah RIS yang isinya adalah suatu ultimatum. Dia menuntut agar Pemerintah RIS menghargai negara-negara bagian, terutama Negara Pasundan serta Pemerintah RIS harus mengakui APRA sebagai tentara Pasundan. Pemerintah RIS harus memberikan jawaban positif dalm waktu 7 hari dan apabila ditolak, maka akan timbul perang besar.

Ultimatum Westerling ini tentu menimbulkan kegelisahan tidak saja di kalangan RIS, namun juga di pihak Belanda dan dr. H.M. Hirschfeld (kelahiran Jerman), Nederlandse Hoge Commissaris (Komisaris Tinggi Belanda) yang baru tiba di Indonesia. Kabinet RIS menghujani Hirschfeld dengan berbagai pertanyaan yang membuatnya menjadi sangat tidak nyaman. Menteri Dalam Negeri Belanda, Stikker menginstruksikan kepada Hirschfeld untuk menindak semua pejabat sipil dan militer Belanda yang bekerjasama dengan Westerling.

Pada 10 Januari 1950, Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa pihak Indonesia telah mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Westerling. Sebelum itu, ketika A.H.J. Lovink masih menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota Kerajaan Belanda, dia telah menyarankan Hatta untuk mengenakan pasal exorbitante rechten terhadap Westerling. Saat itu Westerling mengunjungi Sultan Hamid II di Hotel Des Indes, Jakarta. Sebelumnya, mereka pernah bertemu bulan Desember 1949. Westerling menerangkan tujuannya, dan meminta Hamid menjadi pemimpin gerakan mereka. Hamid ingin mengetahui secara rinci mengenai organisasi Westerling tersebut. Namun dia tidak memperoleh jawaban yang memuaskan dari Westerling. Pertemuan hari itu tidak membuahkan hasil apapun. Setelah itu tak jelas pertemuan berikutnya antara Westerling dengan Hamid. Dalam otobiografinya, Mémoires, yang terbit tahun 1952, Westerling menulis, bahwa telah dibentuk Kabinet Bayangan di bawah pimpinan Sultan Hamid II dari Pontianak, oleh karena itu dia harus merahasiakannya.

Pertengahan Januari 1950, Menteri UNI dan Urusan Provinsi Seberang Lautan, Mr.J.H. van Maarseven berkunjung ke Indonesia untuk mempersiapkan pertemuan Uni Indonesia-Belanda yang akan diselenggarakan pada bulan Maret 1950. Hatta menyampaikan kepada Maarseven, bahwa dia telah memerintahkan kepolisian untuk menangkap Westerling.

Ketika berkunjung ke Belanda, Menteri Perekonomian RIS Juanda pada 20 Januari 1950 menyampaikan kepada Menteri Götzen, agar pasukan elit RST yang dipandang sebagai faktor risiko, secepatnya dievakuasi dari Indonesia. Sebelum itu, satu unit pasukan RST telah dievakuasi ke Ambon dan tiba di Ambon tanggal 17 Januari 1950. Pada 21 Januari Hirschfeld menyampaikan kepada Götzen bahwa Jenderal Buurman van Vreeden dan Menteri Pertahanan Belanda Schokking telah menggodok rencana untuk evakuasi pasukan RST.
Desersi

Pada 22 Januari pukul 21.00 dia telah menerima laporan, bahwa sejumlah anggota pasukan RST dengan persenjataan berat telah melakukan desersi dan meninggalkan tangsi militer di Batujajar.

Mayor KNIL G.H. Christian dan Kapten KNIL J.H.W. Nix melaporkan, bahwa kompi "Erik" yang berada di Kampemenstraat malam itu juga akan melakukan desersi dan bergabung dengan APRA untuk ikut dalam kudeta, namun dapat digagalkan oleh komandannya sendiri, Kapten G.H.O. de Witt. Engles segera membunyikan alarm besar. Dia mengontak Letnan Kolonel TNI Sadikin, Panglima Divisi Siliwangi. Engles juga melaporkan kejadian ini kepada Jenderal Buurman van Vreeden di Jakarta.

Antara pukul 8.00 dan 9.00 dia menerima kedatangan komandan RST Letkol Borghouts, yang sangat terpukul akibat desersi anggota pasukannya. Pukul 9.00 Engles menerima kunjungan Letkol. Sadikin. Ketika dilakukan apel pasukan RST di Batujajar pada siang hari, ternyata 140 orang yang tidak hadir. Dari kamp di Purabaya dilaporkan, bahwa 190 tentara telah desersi, dan dari SOP di Cimahi dilaporkan, bahwa 12 tentara asal Ambon telah desersi.
Kudeta

Namun upaya mengevakuasi Reciment Speciaale Troepen, gabungan baret merah dan baret hijau telah terlambat untuk dilakukan. Dari beberapa bekas anak buahnya, Westerling mendengar mengenai rencana tersebut, dan sebelum deportasi pasukan RST ke Belanda dimulai, pada 23 Januari 1950, Westerling melancarkan kudetanya. Subuh pukul 4.30, Letnan Kolonel KNIL T. Cassa menelepon Jenderal Engles dan melaporkan: "Satu pasukan kuat APRA bergerak melalui Jalan Pos Besar menuju Bandung."

Westerling dan anak buahnya menembak mati setiap anggota TNI yang mereka temukan di jalan. 94 anggota TNI tewas dalam pembantaian tersebut, termasuk Letnan Kolonel Lembong, sedangkan di pihak APRA, tak ada korban seorang pun.

Sementara Westerling memimpin penyerangan di Bandung, sejumlah anggota pasukan RST dipimpin oleh Sersan Meijer menuju Jakarta dengan maksud untuk menangkap Presiden Soekarno dan menduduki gedung-gedung pemerintahan. Namun dukungan dari pasukan KNIL lain dan TII (Tentara Islam Indonesia) yang diharapkan Westerling tidak muncul, sehingga serangan ke Jakarta gagal dilakukan.

Setelah puas melakukan pembantaian di Bandung, seluruh pasukan RST dan satuan-satuan yang mendukungnya kembali ke tangsi masing-masing. Westerling sendiri berangkat ke Jakarta, dan pada 24 Januari 1950 bertemu lagi dengan Sultan Hamid II di Hotel Des Indes. Hamid yang didampingi oleh sekretarisnya, dr. J. Kiers, melancarkan kritik pedas terhadap Westerling atas kegagalannya dan menyalahkan Westerling telah membuat kesalahan besar di Bandung. Tak ada perdebatan, dan sesaat kemudian Westerling pergi meninggalkan hotel.

Setelah itu terdengar berita bahwa Westerling merencanakan untuk mengulang tindakannya. Pada 25 Januari, Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa Westerling, didukung oleh RST dan Darul Islam, akan menyerbu Jakarta. Engles juga menerima laporan, bahwa Westerling melakukan konsolidasi para pengikutnya di Garut, salah satu basis Darul Islam waktu itu.

Aksi militer yang dilancarkan oleh Westerling bersama APRA yang antara lain terdiri dari pasukan elit tentara Belanda, menjadi berita utama media massa di seluruh dunia. Hugh Laming, koresponden Kantor Berita Reuters yang pertama melansir pada 23 Januari 1950 dengan berita yang sensasional. Osmar White, jurnalis Australia dari Melbourne Sun memberitakan di halaman muka: "Suatu krisis dengan skala internasional telah melanda Asia Tenggara." Duta Besar Belanda di Amerika Serikat, van Kleffens melaporkan bahwa di mata orang Amerika, Belanda secara licik sekali lagi telah mengelabui Indonesia, dan serangan di Bandung dilakukan oleh "de zwarte hand van Nederland" (tangan hitam dari Belanda).

Pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/ Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI/Permesta)

Pemberontakan PRRI/Permesta didahului dengan pembentukan dewan-dewan di beberapa daerah di Sumatera, antara lain Dewan Banteng di Sumatera Barat oleh Letnan Kolonel Achmad Husein (20 Desember 1956) ; Dewan Gajah di Medan oleh Kolonel Maludin Simbolon (22 Desember 1956) dan Dewan Manguni di Manado oleh Letnan Kolonel Ventje Sumuai (18 Februari 1957). Tanggal 10 1958 didirikan organisasi yang bernama Gerakan Perjuangan Menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang diketuai oleh Letnan Kolonel Achamad Husein. Gerakan Husein ini akhirnya mendirikan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) yang berkedudukan di Bukittinggi dengan Syafruddin Prawiranegara sebagai pejabat presiden. Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) pada hari berikutnya mendukung dan bergabung dengan PRRI sehingga gerakan bersama itu disebut PRRI/Permesta. Permesta yang berpusat di Manado tokohnya adalah Letnan Kolonel Vantje Sumual, Mayor Gerungan, Mayor Runturambi, Letnan Kolonel D.J. Samba, dan Letnan Kolonel Saleh Lahade.

Untuk menumpas pemberontakan PRRI/Permesta dilaksanakan operasi gabungan yang terdiri atas unsur-unsur darat, laut, udara, dan kepolisian. Serangkaian operasi yang dilakukan adalah sebagai berikut :
Operasi Tegas dengan sasaran Riau dipimpin oleh Letkol Kaharudin Nasution. Tujuan mengamankan instansi dan berhasil menguasai kota. Pekanbaru pada tanggal 12 Maret 1958.

Operasi 17 Agustus dengan sasaran Sumatera Barat dipimpin oleh Kolonel Ahmad Yani berhasil menguasai kota Padang pada tanggal 17 April 1958 dan menguasai Bukittinggi 21 Mei 1958.

Operasi Saptamarga dengan sasaran Sumatera Utara dipimpin oleh Brigjen Jatikusumo.

Operasi Sadar dengan sasaran Sumatera Selatan dipimpin oleh Letkol Dr. Ibnu Sutowo.

Sedangkan untuk menumpas pemberontakan Permesta dilancarkan operasi gabungan dengan nama Merdeka di bawah pimpinan Letkol Rukminto Hendraningrat, yang terdiri dari :

Operasi Saptamarga I dengan sasaran Sulawesi Utara bagian Tengah, dipimpin oleh Letkol Sumarsono.

Operasi Saptamarga II dengan sasaran Sulawesi Utara bagian Selatan, dipimpin oleh Letkol Agus Prasmono.

Operasi Saptamarga III dengan sasaran Kepulauan Sebelah Utara Manado, dipimpin oleh Letkol Magenda.

Operasi Saptamarga IV dengan sasaran Sulawesi Utara, dipimpin oleh Letkol Rukminto Hendraningrat

Pemberontakan ANDI AZIZ di Makasar

Adapun faktor yang menyebabkan pemberontakan adalah :
Menuntut agar pasukan bekas KNIL saja yang bertanggung jawab atas keamanan di Negara Indonesia Timur.

Menentang masuknya pasukan APRIS dari TNI

Mempertahankan tetap berdirinya Negara Indonesia Timur.


Karena tindakan Andi Azis tersebut maka pemerintah pusat bertindak tegas. Pada tanggal 8 April 1950 dikeluarkan ultimatum bahwa dalam waktu 4 x 24 jam Andi Azis harus melaporkan diri ke Jakarta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, pasukannya harus dikonsinyasi, senjata-senjata dikembalikan, dan semua tawanan harus dilepaskan. Kedatangan pasukan pimpinan Worang kemudian disusul oleh pasukan ekspedisi yang dipimpin oleh Kolonel A.E Kawilarang pada tanggal 26 April 1950 dengan kekuatan dua brigade dan satu batalion di antaranya adalah Brigade Mataram yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Suharto. Kapten Andi Azis dihadapkan ke Pengadilan Militer di Yogyakarta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dan dijatuhi hukuman 15 tahun penjara.



Pemberontakan Republik Maluku (25 April 1950)

Pada tanggal 25 April 1950 di Ambon diproklamasikan berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS) yang dilakukan oleh Dr. Ch. R. S. Soumokil mantan Jaksa Agung Negara Indonesia Timur. Soumokil sebenarnya terlibat dalam pemberontakan Andi Azis. Namun, setelah gagalnya gerakan itu ia melarikan diri ke Maluku Tengah dengan Ambon sebagai pusat kegiatannya. Untuk itu pemerintah mengutus Dr. Leimena untuk mengajak berunding. Misi Leimena tidak berhasil karena RMS menolak untuk berunding. Pemerintah bertindak tegas, pasukan ekspedisi di bawah pimpinan Kolonel A. E. Kawilarang dikirimkan ke Ambon. Dalam pertempuran memperebutkan benteng New Victoria, Letkol Slamet Riyadi tertembak dan gugur. Pada tanggal 28 September 1950 pasukan ekspedisi mendarat di Ambon dan bagian utara pulau itu berhasil dikuasai. Tanggal 2 Desember 1963 Dr. Soumokil berhasil ditangkap selanjutnya tanggal 21 April 1964 diadili oleh Mahkamah Militer Laut Luar Biasa dan dijatuhi hukuman mati.

A.Pemberontakan PKI Madiun Tahun 1948

Peristiwa Madiun (atau Madiun Affairs) adalah sebuah konflik kekerasan yang terjadi di Jawa Timur bulan September – Desember 1948. Peristiwa ini diawali dengan diproklamasikannya negara Soviet Republik Indonesia pada tanggal 18 September 1948 di Madiun oleh Muso, seorang tokoh Partai Komunis Indonesia dengan didukung pula oleh Menteri Pertahanan saat itu, Amir Sjarifuddin.
Pada saat itu hingga era Orde Lama peristiwa ini dinamakan Peristiwa Madiun (Madiun Affairs), dan tidak pernah disebut sebagai pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Baru di era Orde Baru peristiwa ini mulai dinamakan pemberontakan PKI.
Bersamaan dengan itu terjadi penculikan tokoh-tokoh masyarakat yang ada di Madiun yang tidak baik itu tokoh sipil maupun militer di pemerintahan ataupun tokoh-tokoh masyarakat dan agama.
Masih ada kontroversi mengenai peristiwa ini. Sejumlah pihak merasa tuduhan bahwa PKI yang mendalangi peristiwa ini sebetulnya adalah rekayasa pemerintah Orde Baru (dan sebagian pelaku Orde Lama)

Latar belakang

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, muncul berbagai organisasi yang membina kader-kader mereka, termasuk golongan kiri dan golongan Sosialis. Selain tergabung dalam Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), Partai Sosialis Indonesia (PSI) juga terdapat kelompok-kelompok kiri lain, antara lain Kelompok Diskusi Patuk, yang diprakarsai oleh Dayno, yang tinggal di Patuk, Yogyakarta. Yang ikut dalam kelompok diskusi ini tidak hanya dari kalangan sipil seperti D.N. Aidit, Syam Kamaruzzaman, dll., melainkan kemudian juga dari kalangan militer dan bahkan beberapa komandan brigade, antara lain Kolonel Joko Suyono, Letkol Sudiarto (Komandan Brigade III, Divisi III), Letkol Soeharto (Komandan Brigade X, Divisi III. Kemudian juga menjadi Komandan Wehrkreis III, dan menjadi Presiden RI), Letkol Dahlan, Kapten Suparjo, Kapten Abdul Latief dan Kapten Untung Samsuri
Pada bulan Mei 1948 bersama Suripno, Wakil Indonesia di Praha, Musso, kembali dari Moskow, Rusia. Tanggal 11 Agustus, Musso tiba di Yogyakarta dan segera menempati kembali posisi di pimpinan Partai Komunis Indonesia. Banyak politisi sosialis dan komandan pasukan bergabung dengan Musso, a.l. Mr. Amir Sjarifuddin Harahap, dr. Setiajid, kelompok diskusi Patuk, dll.
Aksi saling menculik dan membunuh mulai terjadi, dan masing-masing pihak menyatakan, bahwa pihak lainlah yang memulai.
Banyak perwira TNI, perwira polisi, pemimpin agama, pondok pesantren di Madiun dan sekitarnya yang diculik dan dibunuh.
Tanggal 10 September 1948, mobil Gubernur Jawa Timur RM Ario Soerjo (RM Suryo) dan mobil 2 perwira polisi dicegat massa pengikut PKI di Ngawi. Ke 3 orang tersebut dibunuh dan mayatnya dibuang di dalam hutan.
Demikian juga dr. Muwardi dari golongan kiri, diculik dan dibunuh. Tuduhan langsung dilontarkan, bahwa pihak lainlah yang melakukannya.
Di antara yang menjadi korban juga adalah Kol. Marhadi yang namanya sekarang diabadikan dengan Monumen yang berdiri di tengah alun-alun Kota Madiun dan nama jalan utama di Kota Madiun.
Kelompok kiri menuduh sejumlah petinggi Pemerintah RI, termasuk Wakil Presiden Hatta telah dipengaruhi oleh Amerika Serikat untuk menghancurkan Partai Komunis Indonesia, sejalan dengan doktrin Harry S. Truman, Presiden AS yang mengeluarkan gagasan Domino Theory. Truman menyatakan, bahwa apabila ada satu negara jatuh ke bawah pengaruh komunis, maka negara-negara tetangganya akan juga akan jatuh ke tangan komunis, seperti layaknya dalam permainan kartu domino. Oleh karena itu, dia sangat gigih dalam memerangi komunis di seluruh dunia.
Kemudian pada 21 Juli 1948 telah diadakan pertemuan rahasia di hotel "Huisje Hansje" Sarangan, dekat Madiun yang dihadiri oleh Soekarno, Hatta, Sukiman, Menteri Dalam negeri, Mohamad Roem (anggota Masyumi) dan Kepala Polisi Sukanto, sedangkan di pihak Amerika hadir Gerald Hopkins (penasihat politik Presiden Truman), Merle Cochran (pengganti Graham yang mewakili Amerika dalam Komisi Jasa Baik PBB). Dalam pertemuan Sarangan, yang belakangan dikenal sebagai "Perundingan Sarangan", diberitakan bahwa Pemerintah Republik Indonesia menyetujui Red Drive Proposal (proposal pembasmian kelompok merah). Dengan bantuan Arturo Campbell, Sukanto berangkat ke Amerika guna menerima bantuan untuk kepolisian RI. Campbell yang menyandang gelar resmi Atase Konsuler pada Konsulat Jenderal Amerika di Jakarta, sesungguhnya adalah anggota Central Intelligence Agency - CIA
Diisukan, bahwa Sumarsoso tokoh Pesindo, pada 18 September 1948 melalui radio di Madiun telah mengumumkan terbentuknya Pemerintah Front Nasional bagi Karesidenan Madiun. Namun Soemarsono kemudian membantah tuduhan yang mengatakan bahwa pada dia mengumumkan terbentuknya Front Nasional Daerah (FND) dan telah terjadi pemberontakan PKI. Dia bahwa FND dibentuk sebagai perlawanan terhadap ancaman dari Pemerintah Pusat
Pada 19 September 1948, Presiden Soekarno dalam pidato yang disiarkan melalui radio menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia, untuk memilih: Musso atau Soekarno-Hatta. Maka pecahlah konflik bersenjata, yang pada waktu itu disebut sebagai Madiun Affairs (Peristiwa Madiun), dan di zaman Orde Baru kemudian dinyatakan sebagai pemberontakan PKI.

Akhir konflik

Kekuatan pasukan pendukung Musso digempur dari dua arah: Dari barat oleh pasukan Divisi II di bawah pimpinan Kolonel Gatot Subroto, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Wilayah II (Semarang-Surakarta) tanggal 15 September 1948, serta pasukan dari Divisi Siliwangi, sedangkan dari timur diserang oleh pasukan dari Divisi I, di bawah pimpinan Kolonel Sungkono, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Jawa Timur, tanggal 19 September 1948, serta pasukan Mobiele Brigade Besar (MBB) Jawa Timur, di bawah pimpinan M. Yasin.
Panglima Besar Sudirman menyampaikan kepada pemerintah, bahwa TNI dapat menumpas pasukan-pasukan pendukung Musso dalam waktu 2 minggu. Memang benar, kekuatan inti pasukan-pasukan pendukung Musso dapat dihancurkan dalam waktu singkat.

B.Gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII)
Latar Belakang

Penandatanganan Perjanjian Renville pada tanggal 17 Januari 1948 sebagai salah satu upaya untuk mengakhiri pertikaian Indonesia Belanda, ternyata telah menimbulkan dampak baru terhadap fase perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan proklamasi kemerdekaan yang dikumandangkan oleh Soekarno Hatta. Penandatangan perjanjian tersebut tidak saja mempunyai akibat di bidang politik, melainkan juga berpengaruh di bidang militer Negara RI, sebagai konsekwensi logis dari hasil kristalisasi nilai-nilai pertemuan antara pihak-pihak yang mengadakan perundingan.
KOndisi ini dijelaskan oleh Disjarahad (1982) bahwa di dalam bidang politik pemerintahan RI dapat kita lihat dengan jelas. Daerah RI sesuai dengan keputusan Linggajati hanya meliputi pulau Jawa, Sumatra dan Madura semakin dipersempit, lebih-lebih lagi beberapa kota besar dari ketiga pulau tersebut di atas diduduki Belanda.
Sedangkan dalam bidang militer, pasukan-pasukan RI harus mundur dari kantong-kantong perjuangan menuju wilayah yang masih dikuasai republic. Hal ini senada dengan pernyataan Kahin (1995) bahwa pasukan-pasukan terbaik republik harus meninggalkan banyak kantong gerilya yang mereka duduki di balik garis Van Mook dan pindah ke wlayah yang masih dikuasi oleh republic.
Menurut perjanjian Renville, daerah Jawa Barat dala hal ini adalah daerah yang terletak di luar wilayah RI. Hijrahnya pasukan Siliwangi dari wilayah Jawa Barat yang dikuasai Belanda menuju wilayah Jawa Tengah yang dikuasai RI, telah menimbulkan adanya suatu kekosongan pemerintahan RI di Jawa Barat. Kondisi inilah yang kemudian dijadikan sebuah kesempatan oleh apa yang dinamakan Gerakan DI/TII untuk mendirikan Negara Islam Indonesia.
Sehubungan dengan hal ini, Anne Marie The (1964) menyatakan bahwa masa vacuum (kekosongan) pemerintah RI di Jawa Barat tidak disia-siakan oleh Kartosuwirjo untuk menjadikan idenya suatu kenyataan. Sedangkan Kahin menyatakan bahwa akhirnya di Jawa Barat, di daerah yang terletak di luar wilayah menurut ketentuan Perjanjian Renville ada suatu organisasi politik yang baru terbentuk tapi kuat dan juga mencita-citakan kemerekaan republic. Organisasi tersebut tidak mengakui Perjanjian Renville dan tidak mau berperang melawan Belanda, dikenal dengan nama Darul Islam.

Perkembangan DI/TII

Darul Islam (dalam bahasa Arab dar al-Islam), secara harfiah berarti “rumah” atau “keluarga” islam, yaitu “dunia atau wilayah Islam”. Yang dimaksud dengan ungkapan tersebut adalah bagian dari wilayah Islam yang di dalamnya keyakinan dan pelaksanaan syariat Islam serta peraturannya diwajibakan. Lawannya adalah Darul Harb, yakni “wilayah perang, dunia kafir”, yang berangsur-angsur akan dimasukkan ke dalam dar al Islam.
Gerakan DI/TII yang dipimpin oleh SM Kartosuwirjo ini memang merupakan suatu gerakan yang menggunakan motif-motif ideology agama sebagai dasar penggeraknya, yaitu mendirikan Negara Islam Indonesia. Adapun daerah atau tempat GErakan DI/TII yang pertama dimulai di daerah pegunungan di Jawa Barat, yang membentang sekitar Bandung dan meluas sampai ke sebelah timur perbatasan Jawa Tengah, yang kemudian menyebar ke bagian-bagian lain di Indonesia.
Perbedaan-perbedaan ideologis mengenai dasar Negara sebenarnya telag ada sebelum proklamasi Negara Islam Indonesia itu sendiri. Namun adanya musuh bersama, dalam hal ini Belanda, mendorong para pemimpin bangsa Indonesia untuk mengesampingkan perbedaan-perbedaan ideologis tersebut. Van Dijk (1995) menyatakan bahwa melucuti kesatuan-kesatuan Jepang yang mundur, menentang campur tangan Inggris dan menentang kembalinya Belanda meminta perhatian setiap orang sepenuhnya dan untuk sementara menggeser perbedaan-perbedaan ideologis ke latar belakang.
Kristalisasi dari gerakan ini semakin nyata setelah ditanda tanganinya Perjanjian Renville. Adapun upaya-upaya yang dilakukan SM. Kartosuwirjo untuk membentuk Negara Islam, pertama-tama adalah dengan mengadakan Konferensi di Cisayong Tasikmalaya Selatan tanggal 10-11 Februari 1948. Keputusan yang diambil adalah merubah system ideology Islam dari bentuk kepartaian menjadi bentuk kenegaraan, yaitu menjadikan Islam sebagai ideology Negara. Konferensi kedua diadakan di Cijoho tanggal 1 Mei 1948, dimana hasil yang dicapai adalah apa yang disebut Ketatanegaraan Islam, yaitu dibentuknya suatu Dewan Imamah yang dipimpin langsung oleh SM. Kartosuwirjo. Selain itu disusun semacam UUD yang disebut Kanun Azazi, yang menyatakan pembentukan Negara Islam Indonesia dengan hokum tertinggi Al-Quran dan Hadist (PInardi 1964).
Adanya Aksi Polisional Belanda yang melancarkan Agresi Militer II tanggal 18 Desemer 1948, tampaknya semakin mempercepat kea rah pembentukan Negara Islam Indonesia, dimana Agresi MIliter Belanda II tersebut telah berhasil merebut ibukota RI Yogyakarta dan menawan Presiden, Wapres beserta sejumlah Menteri. Momentum inilah yang kemudian dianggap sebagai kehancuran RI, dan kesempatan tersebut digunakan untuk membentuk Negara Islam Indonesia yang diproklamirkan tanggal 7 Agustus 1949. Peristiwa tersebut merupakan titik kulminasi subversi dalam negeri pada masa itu.
Satu hal yang menarik dari gerakan ini dibandingkan dengan gerakan separatisme lainnya, adalah perkembangannya yang cukup lama di atas wilayah yang cukup luas. Keuletan ini tidak terlepas dari factor-faktor yang mempengaruhi munculnya gerakan DI/TII, yang kemudian mendorong sebagian rakyat untuk ikut mendukung gerakan itu, yang akhirnya memberi kekuatan dan keuletan pada Gerakan DI/TII selama hampir 13 tahun.
Gerakan DI/TII akhirnya tetap menjadi sebuah gerakan daerah, sampai akhirnya SM. Kartosuwirjo tertangkap tanggal 4 JUni 1962 dalam sebuah operasi yang bernama Pagar Betis. Dengan penangkapan dan pelaksanaan hukuman mati terhadap SM. Kartosuwirjo, maka berakhirlah pemberontakan yang terorganisir di Jawa Barat selama lebih dari 10 tahun. Namun hal itu tidak cukup membuat peristiwa tersebut mudah dilupakan, katena walau bagaimanapun gerakan ini tidak saja menimbulkan kesengsaraan bagi masyarakat biasa, melainkan juga sebuah tragedy dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia menegakkan kehidupan berbangsa dan bernegara

1. DI/TII Jawa Barat

Pada awalnya DI/NII di Jawa Barat banyak mendapat dukungan dari para kiai dan alim ulama Jawa Barat, kecuali dari kelompok kiai dan alim ulama Priangan Barat yang berada dibawah pengaruh Kiai Ahmad Sanusi. Seperti dikemukakan oleh A.E. Kawilarang, salah satu yang menguntungkan bagi perjuangan RI di Jawa Barat adalah dukungan Kiai Ahmad Sanusi dan Kiai Damanhuri (adik kandung Ahmad Sanusi) terhadap RI. Pengaruh kedua kiai itu di wilayah Priangan dan Karesidenan Bogor, membuat pengaruh DI/TII di kedua wilayah itu tidak begitu berkembang. Selain itu, kekuatan TNI yang sebagian diantaranya tidak beragama Islam (sepertit Kawilarang sendiri) dapat disambut sebagian besar masyarakat Jawa Barat sebagai bagian dari mereka, dan sebagai pejuang mereka (Ramadhan KH 1988).
Dalam mempertahankan 'kedaulatannya' sekaligus menyebarluaskan pengaruhnya, DI membagi wilayah dalam tiga kategori, yaitu daerah I yang merupakan "Ibu daerah Negara Islam" di mana berlaku kekuasaan dan hukum-hukum Islam. Kemudian daerah II merupakan daerah yang terdekat dengan Daerah I, namun belum berlaku hukum Islam. Para pemimpin DI di daerah ini berkewajiban untuk menarik setoran 2% setiap minggunya dari penghasilan penduduk setempat, serta berkewajiban untuk melakukan pemberontakan langsung yang berhubungan dengan DI. Dan yang terakhir adalah Daerah III, yaitu suatu wilayah yang diupayakan oleh para pemimpinnya untuk dijadikan sebagai daerah II dan seterusnya menjadi daerah I.
Namun popularitas DI di kalangan para kiai dan ulama Priangan pada khususnya semakin menurun, setelah mereka melihat berbagai kegiatan dan tindakannya dinilai tidakIslami. Oleh karena itu beberapa kiai dan ulama yang semula mendukungnya, bahkan ikut naik gunung bertempur bersama Kartosuwirjo, menarik kembali dukungannya. Mereka kembali turun ke desa atau kota asalnya seperti yang lebih dahulu dilakukan oleh Kiai Yusuf Tojiri (Jawa Barat 1953).

2. DI/TII di Aceh

Kartosuwirjo sendiri terus berusaha mencari dukungan bukan saja dari dalam negeri, tetapi juga dari kalangan dunia internasional. Ada beberapa hal yang cukup menguntungkan bagi Kartosuwirjo, adalah beberapa kebijakan yang dilakukan oleh sebab pemerintah RI. Sebagai contoh kebijakan pembentukan daerah provinsi Sumatera Utara di mana wilayah Aceh termasuk di dalamnya, ternyata menyakitkan masyarakat Aceh. Tokoh-tokoh masyarakat Aceh, terutama para ulama yang tergabung dalam PUSA, menginginkan agar daerah Aceh dijadikan sebagai provinsi sendiri dengan status yang agak berlainan (yaitu kebebasan dalam menerapkan syariat Islam). Oleh karena itu mereka memberontak. Pemberontakan itu dapat diredakan dengan keputusan pemerintah menjadikan Aceh sebagai daerah Istimewa dengan status provinsi.
Akan tetapi kebijakan pemerintah yang tidak merealisir 'keistimewaan' daerah Aceh itu, kembali membuat beberapa ulama merasa kecewa. Apalagi adanya beberapa kebijakan yang dinilai merugikan masyarakat Aceh. Maka pemberontakan itu pun kembali meledak. Di bawah pimpinan Tengku Daud Beureuh, diproklamasikan berdirinya Negara Islam yang kemudian secara resmi mengaku Kartosuwirjo sebagai imamnya. (lihat Van Dijk).

3. DI/TII di Sulawesi Selatan

perjuangan mempertahankan kemerdekaan di berbagai daerah

kepada pemimpin diatas. Beliau menganggap bahwa Bali bukanlah tempat untuk melakukan perundingan tersebut. Beliau menganggap dirinya hanyalah rakyat biasa yang hanya akan melakukan perlawanan bukan perundingan. Ngurah Rai merasa lebih baik melakukan perang daripada harus melakukan perundingan. Pihak pejuang Bali tidak bersedia, bahkan terus memperkuat pertahanan dengan mengikutsertakan seluruh rakyat terutama para pemuda Bali.
Untuk memudahkan kontak dengan Jawa, I Gusti Ngurah Rai pernah mengambil siasat untuk memindahkan perhatian Belanda ke bagian timur Pulau Bali. Pada 28 Mei 1946 Rai mengerahkan pasukannya menuju ke timur dan ini terkenal dengan sebutan Long March. Selama diadakan Long March itu pasukan gerilya sering dihadang oleh tentara Belanda sehingga sering terjadi pertempuran. Pertempuran yang membawa kemenangan di pihak pejuang ialah pertempuran Tanah Arun, yaitu pertempuran yang terjadi di sebuah desa kecil di lereng Gunung Agung, Kabupaten Karangasem. Dalam pertempuran Tanah Arun yang terjadi 9 Juli 1946 itu pihak Belanda banyak menjadi korban. Setelah pertempuran itu pasukan Ngurah Rai kembali menuju arah barat menuju banjar ole yang kemudian sampai di Desa Marga (Tabanan). Untuk lebih menghemat tenaga karena terbatasnya persenjataan, ada beberapa anggota pasukan terpaksa disuruh berjuang bersama-sama dengan masyarakat. Perpindahan ini diketahui oleh pasukan Belanda. Mereka pun mengadakan serangan besar-besaran di desa marga. Namun saat itu pasukan I GUsti Ngurah Rai yakni pasukan Ciung Wenara berhasil menghalaunya.
Pasukan Belanda tidak kehabisan akal. Pasukan belanda ternyata mendapatkan bantuan pesawat tempur dan senjata sehingga kedudukan pun menjadi semakin tak seimbang. Peralatan tempur Belanda menyulitkan I Gusti Ngurah rai untuk melakukan perlawanan.
Pasukan I Gusti Ngurah Rai kemudian terjebak dalam medan terbuka yang dibalakangnya terdapat jurang yang sangat dalam. Dalam kondisi seperti inilah beliau mengeluarkan perintah untuk melakukan puputan. Disini para pemuda Bali berkumpul dan membantu perjuangan dari pasukan I Gusti Ngurah Rai.
Pada waktu berada di desa marga Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai memerintahkan pasukannya untuk merebut senjata polisi NICA yang ada di kota Tabanan. Perintah itu dilaksanakan pada 18 November 1946 (malam hari) dan berhasil baik. Beberapa senjata dan pelurunya dapat direbut. I Gusti Ngurah Rai pun berhasil membujuk seorang komandan polisi NICA untuk ikut menggabungkan diri kepada pasukan Ngurah Rai. Setelah itu pasukan segera kembali ke Desa Marga. Pada tanggal 20 November 1946 dini hari, pasukan Belanda mulai mengadakan pengurungan terhadap Desa Marga. Kurang lebih pukul 10.00 pagi mulailah terjadi tembak-menembak antara pasukan NICA dengan pasukan I Gusti Ngurah Rai. Pada pertempuran yang seru itu pasukan bagian depan Belanda banyak yang mati tertembak. Oleh karena itu, Belanda segera mendatangkan bantuan dari semua tentaranya yang berada di Bali ditambah pesawat pengebom yang didatangkan dari Makassar. Di dalam pertempuran yang sengit itu semua anggota pasukan Ngurah Rai bertekad tidak akan mundur sampai titik darah penghabisan. Di sinilah pasukan Ngurah Rai mengadakan "Puputan" sehingga pasukan yang berjumlah 96 orang itu semuanya gugur, termasuk Ngurah Rai sendiri. Sebaliknya, di pihak Belanda kurang lebih 400 orang yang tewas. Untuk mengenang peristiwa tersebut kini pada bekas arena pertempuran itu didirikan Tugu Pahlawan Taman Pujaan Bangsa.
I Gusti Ngurah Rai melakukan pertempuran terakhir yang dikenal dengan nama Puputan Margarana. (Puputan, dalam bahasa bali, berarti "habis-habisan", sedangkan Margarana berarti "Pertempuran di Marga"; Marga adalah sebuah desa ibukota salah satu kecamatan Kabupaten Tabanan, Bali).

7.Perjanjian Linggarjati

Perundingan Linggarjati atau kadang juga disebut Perundingan Linggajati adalah suatu perundingan antara Indonesia dan Belanda di Linggarjati, Jawa Barat yang menghasilkan persetujuan mengenai status kemerdekaan Indonesia. Hasil perundingan ini ditandatangani di Istana Merdeka Jakarta pada 15 November 1946 dan diratifikasi kedua negara pada 25 Maret 1947.

Latar Belakang
Masuknya AFNEI yang diboncengi NICA ke Indonesia karena Jepang menetapkan status quo di Indonesia menyebabkan terjadinya konflik antara Indonesia dengan Belanda, seperti contohnya Peristiwa 10 November, selain itu pemerintah Inggris menjadi penanggung jawab untuk menyelesaikan konflik politik dan militer di Asia, oleh sebab itu, Sir Archibald Clark Kerr, diplomat Inggris, mengundang Indonesia dan Belanda untuk berunding di Hooge Veluwe, namun perundingan tersebut gagal karena Indonesia meminta Belanda mengakui kedaulatannya atas Jawa, Sumatera dan Madura, namun Belanda hanya mau mengakui Indonesia atas Jawa dan Madura saja.

HOGE VOLUWE

Perjanjian Linggarjati didahului oleh perundingan di HogeVoluwe, Negeri Belanda dari tanggal 14-24 April 1946, berdasarkan suatu rancangan yang disusun oleh Sjahrir, Perdana Mentri dalam Kabinet Sjahrir II.
Sebelumnya tanggal 10 Februari 1946, sewaktu Sjahrir menjabat Perdana Mentri dalam Kabinet Sjahrir I, Van Mook telah menyampaikan kepada Sjahrir rencana Belanda yang berisi pembentukan negara persemakmuran Indonesia, yang terdiri atas kesatuan kesatuan yang mempunyai otonomi dari berbagai tingkat negara persemakmuran menjadi bagian dari Kerajaan Belanda. Bentuk politik ini hanya berlaku untuk waktu terbatas, setelah itu peserta dalam kerajaan dapat menentukan apakah hubungannya akan dilanjutkan berdasarkan kerjasama yang bersifat sukarela.
Sementara itu pemerintah Inggris mengangkat seseorang Diplomat tinggi Sir Archibald Clark Kerr (yang kemudian diberi gelar Lord Inverchapel), untuk bertindak sebagai ketua dalam perundingan Indonesia – Belanda.
Segera setelah terbentuknya Kabinet Sjahrir II, Sjahrir membuat usulan-usulan tandingan. Yang penting dalam usul itu ialah bahwa : (A) RI diakui sebagai negara berdaulat yang meliputi daerah bekas Hindia Belanda, dan (B) antara negeri Belanda dan RI dibentuk Federasi. Jelaslah behwa usul ini bertentangan dengan usul Van Mook. Setelah diadakan perundingan antara Van Mook dan Sjahrir dicapai kesepakatan :

(a) Rancangan perstujuan diberikan bentuk sebagai Perjanjian Indonesia Internasional dengan “Preambule”.
(b) Pemerintah Belanda mengakui kekuasaan de Facto Republik atas Pulau Jawa dan Sumatra.
Pada rapat Pleno tanggal 30 Maret 1946 Van Mook menerangkan bahwa rancangannya merupakan usahanya pribadi tanpa diberi kekuasaan oleh pemerintahnya . Maka diputuskan bahwa Van Mook akan pergi ke Negeri Belanda, dan cabinet mengirim satu delegasi ke Negeri Belanda yang terdiri atas Soewandi, Soedarsono dan Pringgodigdo. Perundingan diadakan tanggal 14-24 April 1946. Pada hari pertama perundingan sudah mencapai Deadlock, karena bentuk perjanjian Internasional (treaty) tidak dapat diterima oleh kabinet Belanda. Perjanjian Internasional akan berarti bahwa RI mempunyai kedudukan yang sama dengan Belanda didunia Internasional. Padahal Belanda tetap menganggap dirinya sebagai negara pemegang kedaulatan atas Indonesia. Perundingan di Hoge Voluwe merupakan kegagalan, akan tetapi pengalaman yang diperoleh dari perundingan Hoge Voluwe ternyata berguna dalam perjanjian Linggarjati

Misi pendahuluan

Pada akhir Agustus 1946, pemerintah Inggris mengirimkan Lord Killearn ke Indonesia untuk menyelesaikan perundingan antara Indonesia dengan Belanda. Pada tanggal 7 Oktober 1946 bertempat di Konsulat Jenderal Inggris di Jakarta dibuka perundingan Indonesia-Belanda dengan dipimpin oleh Lord Killearn. Perundingan ini menghasilkan persetujuan gencatan senjata (14 Oktober) dan meratakan jalan ke arah perundingan di Linggarjati yang dimulai tanggal 11 November 1946.

Jalannya perundingan Linggarjati

Dalam perundingan ini, Indonesia diwakili oleh Kabinet Sjahrir III yang dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan tiga anggota: Mohammad Roem, Susanto Tirtoprodjo, dan AK Gani. Belanda diwakili oleh tim yang disebut Komisi Jendral dan dipimpin oleh Schermenhorn dengan anggota Max Van Poll, F de Boer, dan HJ Van Mook. Lord Killearn dari Inggris bertindak sebagai mediator dalam perundingan ini.

Hasil perundingan

Hasil perundingan terdiri dari 17 pasal yang antara lain berisi:

1)Pemerintah RI dan Belanda bersama-sama menyelenggarakan berdirinya sebuah negara berdasar federasi, yang dinamai Republik Indonesia Serikat.
2)Pemerintah Republik Indonesia Serikat akan tetap bekerja sama dengan pemerintah Belanda membentuk Uni Indonesia-Belanda.
3)Belanda mengakui kedaulatan de facto RI atas Jawa, Madura, dan Sumatra.


Dampak Perjanjian Linggarjati

Perjanjian Linggarjati menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia, contohnya beberapa partai seperti Partai Masyumi, PNI, Partai Rakyat Indonesia, dan Partai Rakyat Jelata. Partai-partai tersebut menyatakan bahwa perjanjian itu adalah bukti lemahnya pemerintahan Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan negara Indonesia. Untuk menyelesaikan permasalahan ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 6/1946, dimana bertujuan menambah anggota Komite Nasional Indonesia Pusat agar pemerintah mendapat suara untuk mendukung perundingan linggarjati.

Pelanggaran Perjanjian

Pelaksanaan hasil perundingan ini tidak berjalan mulus. Pada tanggal 20 Juli 1947, Gubernur Jendral H.J. van Mook akhirnya menyatakan bahwa Belanda tidak terikat lagi dengan perjanjian ini, dan pada tanggal 21 Juli 1947, meletuslah Agresi Militer Belanda I. Hal ini merupakan akibat dari perbedaan penafsiran antara Indonesia dan Belanda.

8.Agresi Militer Belanda I

Agresi Militer Belanda I adalah operasi militer Belanda di Jawa dan Sumatera terhadap Republik Indonesia yang dilaksanakan dari 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947. Agresi yang merupakan pelanggaran dari Persetujuan Linggajati ini menggunakan kode "Operatie Product".

Latar belakang
Pada tanggal 15 Juli 1947, van Mook mengeluarkan ultimatum agar supaya RI menarik mundur pasukannya sejauh 10 km. dari garis demarkasi. Tentu pimpinan RI menolak permintaan Belanda ini.
Tujuan utama agresi Belanda adalah merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya dan daerah yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak. Namun sebagai kedok untuk dunia internasional, Belanda menamakan agresi militer ini sebagai Aksi Polisionil, dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam negeri. Letnan Gubernur Jenderal Belanda, Dr. H.J. van Mook menyampaikan pidato radio di mana dia menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Linggajati. Pada saat itu jumlah tentara Belanda telah mencapai lebih dari 100.000 orang, dengan persenjataan yang modern, termasuk persenjataan berat yang dihibahkan oleh tentara Inggris dan tentara Australia.

Agresi
Serangan di beberapa daerah, seperti di Jawa Timur, bahkan telah dilancarkan tentara Belanda sejak tanggal 20 Juli malam, sehingga dalam bukunya, J. A. Moor menulis agresi militer Belanda I dimulai tanggal 20 Juli 1947. Belanda berhasil menerobos ke daerah-daerah yang dikuasai oleh Republik Indonesia di Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Fokus serangan tentara Belanda di tiga tempat, yaitu Sumatera Timur, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Sumatera Timur, sasaran mereka adalah daerah perkebunan tembakau, di Jawa Tengah mereka menguasai seluruh pantai utara, dan di Jawa Timur, sasaran utamanya adalah wilayah di mana terdapat perkebunan tebu dan pabrik-pabrik gula.
Pada agresi militer pertama ini, Belanda juga mengerahkan kedua pasukan khusus, yaitu Korps Speciaale Troepen (KST) di bawah Westerling yang kini berpangkat Kapten, dan Pasukan Para I (1e para compagnie) di bawah Kapten C. Sisselaar. Pasukan KST (pengembangan dari DST) yang sejak kembali dari pembantaian di Sulawesi Selatan belum pernah beraksi lagi, kini ditugaskan tidak hanya di Jawa, melainkan dikirim juga ke Sumatera.
Agresi tentara Belanda berhasil merebut daerah-daerah di wilayah Republik Indonesia yang sangat penting dan kaya seperti kota pelabuhan, perkebunan dan pertambangan.
Pada 29 Juli 1947, pesawat Dakota Republik dengan simbol Palang Merah di badan pesawat yang membawa obat-obatan dari Singapura, sumbangan Palang Merah Malaya ditembak jatuh oleh Belanda dan mengakibatkan tewasnya Komodor Muda Udara Mas Agustinus Adisucipto, Komodor Muda Udara dr. Abdulrachman Saleh dan Perwira Muda Udara I Adisumarno Wiryokusumo.
Pada 9 Desember 1947, terjadi Pembantaian Rawagede dimana tentara Belanda membantai 431 penduduk desa Rawagede, yang terletak di antara Karawang dan Bekasi, Jawa Barat.

Campur tangan PBB
Republik Indonesia secara resmi mengadukan agresi militer Belanda ke PBB, karena agresi militer tersebut dinilai telah melanggar suatu perjanjian Internasional, yaitu Persetujuan Linggajati.
Belanda ternyata tidak memperhitungkan reaksi keras dari dunia internasional, termasuk Inggris, yang tidak lagi menyetujui penyelesaian secara militer. Atas permintaan India dan Australia, pada 31 Juli 1947 masalah agresi militer yang dilancarkan Belanda dimasukkan ke dalam agenda Dewan Keamanan PBB, yang kemudian mengeluarkan Resolusi No. 27 tanggal 1 Agustus 1947, yang isinya menyerukan agar konflik bersenjata dihentikan.
Dewan Keamanan PBB de facto mengakui eksistensi Republik Indonesia. Hal ini terbukti dalam semua resolusi PBB sejak tahun 1947, Dewan Keamanan PBB secara resmi menggunakan nama INDONESIA, dan bukan Netherlands Indies. Sejak resolusi pertama, yaitu resolusi No. 27 tanggal 1 Augustus 1947, kemudian resolusi No. 30 dan 31 tanggal 25 August 1947, resolusi No. 36 tanggal 1 November 1947, serta resolusi No. 67 tanggal 28 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB selalu menyebutkan konflik antara Republik Indonesia dengan Belanda sebagai The Indonesian Question.
Atas tekanan Dewan Keamanan PBB, pada tanggal 15 Agustus 1947 Pemerintah Belanda akhirnya menyatakan akan menerima resolusi Dewan Keamanan untuk menghentikan pertempuran.
Pada 17 Agustus 1947 Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda menerima Resolusi Dewan Keamanan untuk melakukan gencatan senjata, dan pada 25 Agustus 1947 Dewan Keamanan membentuk suatu komite yang akan menjadi penengah konflik antara Indonesia dan Belanda. Komite ini awalnya hanyalah sebagai Committee of Good Offices for Indonesia (Komite Jasa Baik Untuk Indonesia), dan lebih dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN), karena beranggotakan tiga negara, yaitu Australia yang dipilih oleh Indonesia, Belgia yang dipilih oleh Belanda dan Amerika Serikat sebagai pihak yang netral. Australia diwakili oleh Richard C. Kirby, Belgia diwakili oleh Paul van Zeeland dan Amerika Serikat menunjuk Dr. Frank Graham.

Dampak Agresi Militer Belanda I

Dampak dari agresi militer yang dilakukan oleh Belanda menimbulkan jatuhnya ribuan korban rakyat Indonesia. Agresi militer yang dilakukan oleh Belanda juga menimbulkan reaksi dari dunia internasional. Dewan keamanan PBB ikut campu tangan dalam usaha penanganan masalah permusuhan antara Indonesia dengan Belanda. Dewan keamanan PBB pun memfasilitasi kedua negara yang bertikai untuk berunding mencari jalan penyelesaian masalah. PP membentuk komisi untuk penyelesaian masalah Indonesia-Belanda yang dikenal dengan Komisi Tiga Negara. Indonesia dan Belanda diberikan kesempatan untuk memilih satu negara sebagai wakil untuk menjadi anggota komisi. Indonesia memilih Australia sebagai wakilnya yang diwakili oleh Richard Kirby dan Belanda memilih Belgia sebagai wakilnya yang diwakili oleh Paul Van zeeland. Amerika Serikat ditunjuk untuk menjadi penengah dalam komisi ini.
Dampak lain dari Aresi militer Belanda yang pertama ini juga menyebabkan kabinet Syahrir III jatuh, karena dianggap gagal dalam perundingan dengan Belanda .

9.Perjanjian Renville

Latar Belakang

Perjanjian Renville merupakan kelanjutan dari perundingan yang dilakukan oleh kedua negara yang bertikai yaitu Indonesia dan Belanda yang difasilitasi oleh Komisi Tiga Negara (KTN) yang dibentuk oleh PBB. KTN bersepakat untuk membawa kembali masalah antara Indonesia dan Belanda ini ke meja perundingan yang akan dilaksanakan diatas kapal milik Amerika Serikat yang bernama U.S.S. Renville

Proses Perundingan

Dengan difasilitasi oleh Committee of Good Offices for Indonesia, pada 8 Desember 1947 dimulai perundingan antara Belanda dan Indonesia di Kapal Perang AS Renville sebagai tempat netral, karena Pemerintah Republik Indonesia menolak berunding di Jakarta. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin Harahap. Dan yang sangat luar biasa di sini adalah, delegasi Kerajaan Belanda dipimpin oleh Kolonel KNIL R. Abdul Kadir Wijoyoatmojo. Di sini terlihat jelas keberhasilan politik divide et impera Belanda yang dapat menampilkan seorang pribumi untuk menghadapi bangsanya sendiri. Namun ini juga menunjukkan watak orang-orang seperti Wijoyoatmojo, yang demi pangkat, jabatan dan uang, rela mengorbankan –bahkan membunuh- bangsanya sendiri untuk kepentingan penjajah.
Pada perundingan di kapal Renville tersebut, Belanda kembali menunjukkan keunggulan berdiplomasi dalam perundingan dan di lain pihak, Indonesia sekali lagi menunjukkan kelemahannya. Belanda bersikukuh dengan sikap mereka, yaitu tidak bersedia mundur ke batas demarkasi sebelum agresi militer, dan tetap mempertahankan batas demarkasi baru yang dinamakan “Garis van Mook” sebagai hasil agresi militer mereka. Garis van Mook itu untuk Belanda merupakan “Dream Line” (garis impian) karena dengan demikian Belanda memperoleh penambahan wilayah yang sangat besar, baik di Sumatera mau pun di Jawa, terutama daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam yang sangat dibutuhkan oleh Belanda, seperti minyak dan hasil pertambangan lain.
Tanggal 17 Januari 1948, ditandatangani kesepakatan antara Pemerintah RI dan Pemerintah Belanda, yang kemudian dikenal sebagai “Persetujuan Renville.”
Namun sejak Pemerintah RI dan Belanda pada 17 Agustus 1947 sepakat untuk diadakannya gencatan senjata hingga ditandatanganinya Persetujuan Renville, pertempuran terus terjadi antara tentara Belanda dengan berbagai laskar-laskar yang tidak termasuk TNI, dan sesekali unit pasukan TNI juga terlibat baku tembak dengan tentara Belanda, seperti yang terjadi antara Karawang dan Bekasi.
Sebagai hasil Persetujuan Renville, pihak Republik harus mengosongkan enclave (kantong-kantong) yang dikuasai TNI, dan pada bulan Februari 1948, Divisi Siliwangi “Hijrah” ke Jawa Tengah.

Dampak Perjanjian Renville

Perjanjian Renville menimbulkan dampak yang merugikan bagi Indonesia karena pihak Indonesia harus mengosongkan wilayah-wilayah yang dikuasai TNI, dan menyebabkan Divisi Siliwangi harus meninggalkan Jawa Barat untuk melakukan perjalanan ke jawa Tengah. Tidak semua pejuang Indonesia yang berada di jawa Barat mematuhi keputusan dari perjanjian Renville. Berbagai pasukan yang tergabung dalam Barisan Bambu Runcing dan Laskar Hisbullah dibawah pimpinan Sekarmaji marijan Kartosuwiryo menolak untuk meninggalkan Jawa Barat dan memilih untuk tetap bertahan dan melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Kabinet Amir Syarifuddin tidak dapat dipertahankan lagi karena banyak pihak yang menentang hasil-hasil perundingan dan kabinet Amir Syarifuddin dianggap gagal dan pada tanggal 23 Januari 1948 mandatnya sebagai Perdana Menteri diserahkan kembali kepada Presiden Republik Indonesia.

10.Agresi Militer Belanda II

Agresi Militer Belanda II terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya. Jatuhnya ibu kota negara ini menyebabkan dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara.
Pada hari pertama Agresi Militer Belanda II, mereka menerjunkan pasukannya di Pangkalan Udara Maguwo dan dari sana menuju ke Ibukota RI di Yogyakarta. Kabinet mengadakan sidang kilat. Dalam sidang itu diambil keputusan bahwa pimpinan negara tetap tinggal dalam kota agar dekat dengan Komisi Tiga Negara (KTN) sehingga kontak-kontak diplomatik dapat diadakan.

Latar Belakang

Belanda yang masih inginmenguasai wilayah-wilayah di Indonesia akhirnya melakukan pelanggaran terhadap keputusan yang dihasilkan pada perjanjian Renville. Belanda. Belanda melanggar kesepakatan untuk melakukan gencatan senjata dan melancarkan serangannya ke wilayah Republik Indonesia.

Serangan ke Maguwo
Tanggal 18 Desember 1948 pukul 23.30, siaran radio dari Jakarta menyebutkan, bahwa besok paginya Wakil Tinggi Mahkota Belanda, Dr. Beel, akan mengucapkan pidato yang penting. Sementara itu Jenderal Spoor yang telah berbulan-bulan mempersiapkan rencana pemusnahan TNI memberikan instruksi kepada seluruh tentara Belanda di Jawa dan Sumatera untuk memulai penyerangan terhadap kubu Republik. Operasi tersebut dinamakan "Operasi Kraai."
Pukul 2.00 pagi 1e para-compgnie (pasukan para I) KST di Andir memperoleh parasut mereka dan memulai memuat keenambelas pesawat transportasi, dan pukul 3.30 dilakukan briefing terakhir. Pukul 3.45 Mayor Jenderal Engles tiba di bandar udara Andir, diikuti oleh Jenderal Spoor 15 menit kemudian. Dia melakukan inspeksi dan mengucapkan pidato singkat. Pukul 4.20 pasukan elit KST di bawah pimpinan Kapten Eekhout naik ke pesawat dan pukul 4.30 pesawat Dakota pertama tinggal landas. Rute penerbangan ke arah timur menuju Maguwo diambil melalui Lautan Hindia. Pukul 6.25 mereka menerima berita dari para pilot pesawat pemburu, bahwa zona penerjunan telah dapat dipergunakan. Pukul 6.45 pasukan para mulai diterjunkan di Maguwo.
Seiring dengan penyerangan terhadap bandar udara Maguwo, pagi hari tanggal 19 Desember 1948, WTM Beel berpidato di radio dan menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Renville. Penyerbuan terhadap semua wilayah Republik di Jawa dan Sumatera, termasuk serangan terhadap Ibukota RI, Yogyakarta, yang kemudian dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II telah dimulai. Belanda konsisten dengan menamakan agresi militer ini sebagai "Aksi Polisional".
Penyerangan terhadap Ibukota Republik, diawali dengan pemboman atas lapangan terbang Maguwo, di pagi hari. Pukul 05.45 lapangan terbang Maguwo dihujani bom dan tembakan mitraliur oleh 5 pesawat Mustang dan 9 pesawat Kittyhawk. Pertahanan TNI di Maguwo hanya terdiri dari 150 orang pasukan pertahanan pangkalan udara dengan persenjataan yang sangat minim, yaitu beberapa senapan dan satu senapan anti pesawat 12,7. Senjata berat sedang dalam keadaan rusak. Pertahanan pangkalan hanya diperkuat dengan satu kompi TNI bersenjata lengkap. Pukul 06.45, 15 pesawat Dakota menerjunkan pasukan KST Belanda di atas Maguwo. Pertempuran merebut Maguwo hanya berlangsung sekitar 25 menit. Pukul 7.10 bandara Maguwo telah jatuh ke tangan pasukan Kapten Eekhout. Di pihak Republik tercatat 128 tentara tewas, sedangkan di pihak penyerang, tak satu pun jatuh korban.
Sekitar pukul 9.00, seluruh 432 anggota pasukan KST telah mendarat di Maguwo, dan pukul 11.00, seluruh kekuatan Grup Tempur M sebanyak 2.600 orang –termasuk dua batalyon, 1.900 orang, dari Brigade T- beserta persenjataan beratnya di bawah pimpinan Kolonel D.R.A. van Langen telah terkumpul di Maguwo dan mulai bergerak ke Yogyakarta.
Serangan terhadap kota Yogyakarta juga dimulai dengan pemboman serta menerjunkan pasukan payung di kota. Di daerah-daerah lain di Jawa antara lain di Jawa Timur, dilaporkan bahwa penyerangan bahkan telah dilakukan sejak tanggal 18 Desember malam hari. Segera setelah mendengar berita bahwa tentara Belanda telah memulai serangannya, Panglima Besar Soedirman mengeluarkan perintah kilat yang dibacakan di radio tanggal 19 Desember 1948 pukul 08.00.

Dampak Agresi Militer Belanda II

Dalam setiap aksi militer yang dilakukan oleh Belanda menimbulkan korban yang tidak sedikit dari pihak Indonesia. Belanda yang secara terang-terangan tidak mengakui lagi hasil kesepakatan dalam perjanjian Renville terus melakukan serangan ke wilayah Republik Indonesia. Aksi yang dilakukan Belanda ini membuat Dewan Keamanan PBB memaksa Belanda dan Indonesia untuk kembali naik ke meja perundingan. Selain itu Amerika Serikat juga mencam akan menghentikan bantuan keuangan dan ekonomi kepada Belanda apabila terus melakukan aksinya tersebut.

11.Pemerintahan darurat Republik Indonesia

Pembentukkan Pemerintahan darurat Republik Indonesia dilatar belakangi oleh kondisi yang terjadi pada Republik Indonesia pada waktu itu. Belanda yang secara terang-terangan tidak mengakui lagi hasil kesepakatan dalam perjanjian Renville melancarkan serangan ke Ibukota Republik Indonesia di Yogyakarta dan berhasil menangkap serta menahan para pemimpin bangsa seperti Soekarno, Mohammad hatta, dan Syahrir. Mendengar kondisi Republik Indonesia yang demikian, Mr. Syafruddin Prawiranegara yang menjabat sebagai Menteri Kemakmuran dan sedang berada di Bukittinggi berinisiatif untuk mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Saat itulah, Mr. Syafruddin Prawiranegara, yang menjabat Menteri Kemakmuran dan saat itu sedang berada di Bukittinggi, mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatera Selatan pada 22 Desember 1948, dan berusia hanya beberapa bulan saja, tepatnya sampai dengan 13 Juli 1949.
Ketika mendengar berita bahwa tentara Belanda telah menduduki Ibukota Yogyakarta dan menangkap sebagian besar pimpinan Pemerintahan Republik Indonesia, tanggal 19 Desember sore hari, Mr. Syafruddin Prawiranegara bersama Kol. Hidayat, Panglima Tentara dan Teritorium Sumatera, mengunjungi Mr. T. Mohammad Hassan, Ketua Komisaris Pemerintah Pusat di kediamannya, untuk mengadakan perundingan. Malam itu juga mereka meninggalkan Bukittinggi menuju Halaban, perkebunan teh 15 Km di selatan kota Payakumbuh.
Sejumlah tokoh pimpinan Republik yang berada di Sumatera Barat dapat berkumpul di Halaban, dan pada 22 Desember 1948 mereka mengadakan rapat yang dihadiri antara lain oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara, Mr.TM. Hasan, Mr. Sutan Mohammad Rasjid, Kolonel Hidayat, Mr. Lukman Hakim, Ir. Indracahya, Ir. Mananti Sitompul, Maryono Daubroto, Direktur BNI Mr. A Karim, Rusli Rahim dan Mr. Latif. Walaupun secara resmi kawat Presiden Sukarno belum diterima, tanggal 22 Desember 1948, sesuai dengan konsep yang telah disiapkan, maka dalam rapat tersebut diputuskan untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), dengan susunan sebagai berikut:

Mr. Syafruddin Prawiranegara, Ketua PDRI/Menteri Pertahanan/ Menteri Penerangan/Menteri Luar Negeri ad interim
Mr. T. M. Hassan, Wakil Ketua PDRI/Menteri Dalam Negeri/Menteri PPK/Menteri Agama,
Mr. St. Mohammad Rasjid, Menteri Keamanan/Menteri Sosial, Pembangunan, Pemuda,
Mr. Lukman Hakim, Menteri Keuangan/Menteri Kehakiman,
Ir. M. Sitompul, Menteri Pekerjaan Umum/Menteri Kesehatan,
Ir. Indracaya, Menteri Perhubungan/Menteri Kemakmuran.

Sekitar satu bulan setelah agresi militer Belanda, dapat terjalin komunikasi antara pimpinan PDRI dengan keempat Menteri yang berada di Jawa. Mereka saling bertukar usulan untuk menghilangkan dualisme kepemimpinan di Sumatera dan Jawa.
Setelah berbicara jarak jauh dengan pimpinan Republik di Jawa, maka pada 31 Maret 1948, Prawiranegara mengumumkan penyempurnaan susunan pimpinan Pemerintah Darurat Republik Indonesia sebagai berikut:

Mr. Syafruddin Prawiranegara, Ketua merangkap Menteri Pertahanan dan Penerangan,
Mr. Susanto Tirtoprojo, Wakil Ketua merangkap Menteri Kehakiman dan Menteri Pembangunan dan Pemuda,
Mr. AA Maramis, Menteri Luar Negeri (berkedudukan di New Delhi, India).
dr. Sukiman, Menteri Dalam Negeri merangkap Menteri Kesehatan.
Mr. Lukman Hakim, Menteri Keuangan.
Mr. Ignatius J. Kasimo, Menteri Kemakmuran/Pengawas Makanan Rakyat.
Kyai H. Maskur, Menteri Agama.
Mr. T. Moh. Hassan, Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan.
Ir. Indracahya, Menteri Perhubungan.
Ir. Mananti Sitompul, Menteri Pekerjaan Umum.
Mr. Sutan Mohammad Rasjid, Menteri Perburuhan dan Sosial.

Sementara para Pejabat di bidang militer:

Letnan Jenderal Sudirman, Panglima Besar Angkatan Perang RI.
Kolonel AH. Nasution, Panglima Tentara & Teritorium Jawa.
Kolonel R. Hidayat Martaatmaja, Panglima Tentara & Teritorium Sumatera.
Kolonel Nazir, Kepala Staf Angkatan Laut.
Komodor Udara Humbertus Suyono, Kepala Staf Angkatan Udara.
Komisaris Besar Polisi Umar Said, Kepala Kepolisian Negara.

Kemudian pada 16 Mai 1949, dibentuk Komisariat PDRI untuk Jawa yang dikoordinasikan oleh Mr. Susanto Tirtoprojo, dengan susunan sbb.:

Mr. Susanto Tirtoprojo, urusan Kehakiman dan Penerangan.
Mr. Ignatius J. Kasimo, urusan Persediaan Makanan Rakyat.
R. Panji Suroso, urusan Dalam Negeri.

Selain itu dr. Sudarsono, Wakil RI di India, Mr. Alexander Andries Maramis, Menteri Luar Negeri PDRI yang berkedudukan di New Delhi, India, dan LN. Palar, Ketua delegasi Republik Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa, adalah tokoh-tokoh yang sangat berperan dalam menyuarakan Republik Indonesia di dunia internasional. Dalam situasi ini, secara de facto, Mr. Syafruddin Prawiranegara adalah Kepala Pemerintah Republik Indonesia.
Walaupun usia Pemerintah Darurat Republik Indonesia ( PDRI ) hanya berusia pendek, namun hal itu sangatlah besar artinya bagi perjuangan bangsa Indonesia, karena disaat pemerintahan resmi tidak berjalan karena Agresi Militer Belanda, Indonesia tetap mempunyai pemerintahan yang siap dalam memperjuangkan haknya sebagai negara yang merdeka dan berdaulat penuh. Jadi tidak ada ke-vakum-an dalam pemerintahan.

peristiwa politik-ekonomi pasca kedaulatan




A. Berbagai Faktor yang Memengaruhi Proses Kembalinya Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan

Bagian penting dari keputusan KMB adalah terbentuknya Negara Republik Indonesia Serikat. Memang hasil KMB diterima oleh Pemerintah Republik Indonesia, namun hanya “ setengah hati.” Hal ini terbukti dengan munculnya perbedaan dan pertentangan antarkelompok bangsa. Dua kekuatan besar yang saling berseberangan yaitu:
1. kelompok unitaris, artinya kelompok pendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
2. kelompok pendukung Negara Federal-RIS.

JELI Jendela Info
Undang Undang Dasar yang pernah berlaku di Indonesia yaitu:
1. UUD 1945 (18 Agustus 1945 s.d. 27 Desember 1949),
2. Konstitusi RIS 1949 (27 Desember 1949 s.d. 17 Agustus 1950),
3. UUDS 1950 (17 Agustus 1950 s.d. 5 Juli 1959),
4. UUD 1945 (5 Juli 1959 s.d. sekarang), dan mengalami empat kali amandemen.

Dampak dari terbentuknya Negara RIS adalah konstitusi yang digunakan bukan lagi UUD 1945, melainkan Konstitusi RIS tahun 1949. Dalam pemerintahan RIS jabatan presiden dipegang oleh Ir. Soekarno, dan Drs. Mohammad Hatta sebagai perdana menteri. Perlu diingat bahwa dalam Konstitusi RIS 1949 tidak mengenal jabatan wakil presiden. Berdasarkan pandangan kaum nasionalis pembentukan RIS merupakan strategi pemerintah kolonial Belanda untuk memecah belah kekuatan bangsa Indonesia sehingga Belanda akan mudah mempertahankan kekuasaan dan pengaruhnya di Republik Indonesia. Kelompok ini sangat menentang dan menolak ide federasi dalam bentuk negara RIS.

JELI Jendela Info
Ada beberapa tahap dan proses kembalinya negara RIS ke NKRI.
a. Negara Pasundan tanggal 11 Maret 1950 bergabung ke RI.
b. Tanggal 22 April 1950 tinggal RI, NST, dan NIT.
c. Tanggal 14 Agustus 1950 Senat dan DPR mengesahkan UUDS 1950.
d. Tanggal 15 Agustus 1950 Soekarno membacakan Piagam Persetujuan Kembali ke NKRI.
e. Tanggal 17 Agustus 1950 secara resmi RIS berakhir dan terbentuk NKRI.

Pada akhirnya kelompok unitaris semakin memperoleh simpati. Berikut ini sejumlah faktor yang memengaruhi proses kembalinya negara RIS menjadi NKRI.
1. Bentuk negara RIS bertentangan dengan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
2. Pembentukan negara RIS tidak sesuai dengan kehendak rakyat.
3. Bentuk RIS pada dasarnya merupakan warisan dari kolonial Belanda yang tetap ingin berkuasa di Indonesia.
4. Berbagai masalah dan kendala politik, ekonomi, sosial, dan sumber daya manusia dihadapi oleh negara-negara bagian RIS.

Pada tanggal 17 Agustus 1950, Presiden Soekarno membacakan Piagam terbentuknya NKRI. Peristiwa ini juga menandai berakhirnya bentuk RIS. Indonesia kembali menjadi negara kesatuan.

B. Kehidupan Ekonomi Masyarakat Indonesia Pasca Pengakuan Kedaulatan

Pasca pengakuan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949, permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia di bidang ekonomi sangatlah kompleks. Berikut ini masalah-masalah tersebut.
1. Belum terwujudnya kemerdekaan ekonomi

Kondisi perekonomian Indonesia pasca pengakuan kedaulatan masih dikuasai oleh asing. Untuk itu para ekonom menggagas untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional. Salah satu tokoh ekonom itu adalah Sumitro Djoyohadikusumo. Ia berpendapat bahwa bangsa Indonesia harus selekasnya ditumbuhkan kelas pengusaha. Pengusaha yang bermodal lemah harus diberi bantuan modal. Program ini dikenal dengan gerakan ekonomi Program Benteng. Tujuannya untuk melindungi usaha-usaha pribumi. Ternyata program benteng mengalami kegagalan. Banyak pengusaha yang menyalahgunakan bantuan kredit untuk mencari keuntungan secara cepat.
2. Perkebunan dan instalasi-instalasi industri rusak

Akibat penjajahan dan perjuangan fisik, banyak sarana prasarana dan instalasi industri mengalami kerusakan. Hal ini mengakibatkan kemacetan dalam bidang industri, kondisi ini mempengaruhi perekonomian nasional.
3. Jumlah penduduk meningkat cukup tajam

Pada pasca pengakuan kedaulatan, laju pertumbuhan penduduk meningkat. Pada tahun 1950 diperkirakan penduduk Indonesia sekitar 77,2 juta jiwa. Tahun 1955 meningkat menjadi 85,4 juta. Laju pertumbuhan penduduk yang cepat berakibat pada peningkatan impor makanan. Sejalan dengan pertumbuhan penduduk kebutuhan akan lapangan kerja meningkat. Kondisi tersebut mendorong terjadinya urbanisasi.
4. Utang negara meningkat dan inflasi cukup tinggi

Setelah pengakuan kedaulatan, ekonomi Indonesia tidak stabil. Hal itu ditandai dengan meningkatnya utang negara dan meningginya tingkat inflasi. Utang Indonesia meningkat karena Ir. Surachman (selaku Menteri Keuangan saat itu) mencari pinjaman ke luar negeri untuk mengatasi masalah keuangan negara. Sementara itu, tingkat inflasi Indonesia meninggi karena saat itu barang-barang yang tersedia di pasar tidak dapat mencukupi kebutuhan masyarakat. Akibatnya, harga barang-barang kebutuhan naik. Untuk mengurangi inflasi, pemerintah melakukan sanering pada tanggal 19 Maret 1950. Sanering adalah kebijakan pemotongan uang. Uang yang bernilai Rp,5,- ke atas berlaku setengahnya.
5. Defisit dalam perdagangan internasional

Perdagangan internasional Indonesia menurun. Hal ini disebabkan Indonesia belum memiliki barang-barang ekspor selain hasil perkebunan. Padahal sarana dan produktivitas perkebunan telah merosot akibat berbagai kerusakan.
6. Kekurangan tenaga ahli untuk menuju ekonomi nasional

Pada awal pengakuan kedaulatan, perusahaan-perusahaan yang ada masih merupakan milik Belanda. Demikian juga tenaga ahlinya. Tenaga ahli masih dari Belanda, sedang tenaga Indonesia hanya tenaga kasar. Oleh karena itu Mr. Iskaq Tjokroadikusuryo melakukan kebijakan Indonesianisasi. Kebijakan ini mendorong tumbuh dan berkembangnya pengusaha swasta nasional. Langkahnya dengan mewajibkan perusahaan asing memberikan latihan kepada tenaga bangsa Indonesia.
7. Rendahnya Penanaman Modal Asing (PMA) akibat konflik Irian Barat

Akibat konflik Irian Barat kondisi politik tidak stabil. Bangsa Indonesia banyak melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda. Sebagai dampak nasionalisasi, investasi asing mulai berkurang. Investor asing tidak berminat menanamkan modalnya di Indonesia.
8. Terjadinya disinvestasi yang tajam dalam tahun 1960-an

Pada tahun 1960-an terjadi disinvestasi yang cukup tajam akibat konflik Irian Barat. Akibatnya kapasitas produksi menurun karena terjadi salah urus dalam perusahaan.

1. Situasi Politik di Indonesia Sebelum Pemilu Tahun 1955

Kondisi perpolitikan di Indonesia sebelum dilaksanakan Pemilu tahun 1955 ada dua ciri yang menonjol, yaitu munculnya banyak partai politik (multipartai) dan sering terjadi pergantian kabinet/ pemerintahan. Setelah kembali ke bentuk negara kesatuan, sistem demokrasi yang dianut adalah Demokrasi Liberal Sistem pemerintahannya adalah kabinet parlementer. Pada masa ini perkembangan partai politik diberikan ruang yang seluas-luasnya. Dari tahun 1950-1959, terdapat tujuh kabinet yang memerintah.
a. Kabinet Mohammad Natsir (7 September 1950 – Maret 1951)

Kabinet Natsir merupakan suatu Zaken Kabinet, intinya adalah Partai Masyumi. Kabinet ini menyerahkan mandatnya tanggal 21 Maret 1951, setelah adanya mosi yang menuntut pembekuan dan pembubaran DPRD Sementara. Penyebab lainnya adalah seringnya mengeluarkan Undang Undang Darurat yang mendapat kritikan dari partai oposisi.
b. Kabinet Sukiman (April 1951- Februari 1952)

Kabinet Sukiman merupakan koalisi antara Masyumi dengan PNI. Pada masa Kabinet Sukiman muncul berbagai gangguan keamanan, misalnya DI/TII semakin meluas dan Republik Maluku Selatan. Kabinet ini jatuh karena kebijakan politik luar negerinya diangap condong ke Serikat. Pada tanggal 15 Januari 1952 diadakan penandatanganan Mutual Security Act (MSA). Perjanjian ini berisi kerja sama keamananan dan Serikat akan memberikan bantuan ekonomi dan militer.
c. Kabinet Wilopo (April 1952- Juni 1953)

Kabinet Wilopo didukung oleh PNI, Masyumi, dan PSI. Prioritas utama program kerjanya adalah peningkatan kesejahteraan umum. Peristiwa penting yang terjadi semasa pemerintahannya adalah peristiwa 17 Oktober 1952 dan peristiwa Tanjung Morawa. Peristiwa 17 Oktober 1952, yaitu tuntutan rakyat yang didukung oleh Angkatan Darat yang dipimpin Nasution, agar DPR Sementara dibubarkan diganti dengan parlemen baru. Sedang Peristiwa Tanjung Morawa (Sumatra Timur) mencakup persoalan perkebunan asing di Tanjung Morawa yang diperebutkan dengan rakyat yang mengakibatkan beberapa petani tewas.
d. Kabinet Ali Sastroamijoyo I (31 Juli 1953-24 Juli 1955)

Kabinet ini dikenal dengan Kabinet Ali Wongso (Ali Sastroamijoyo dan Wongsonegoro). Prestasi yang dicapai adalah terlaksananya Konferensi di Bandung 18-24 April 1955.
e. Kabinet Burhanudin Harahap (Agustus 1955 – Maret 1956)

Kabinet ini dipimpin oleh Burhanudin Harahap dengan inti Masyumi. Keberhasilan yang diraih adalah menyelenggarakan pemilu pertama tahun 1955. Karena terjadi mutasi di beberapa kementerian, maka pada tanggal 3 Maret 1956 Burhanudin Harahap menyerahkan mandatnya.
f. Kabinet Ali Sastroamijoyo II (Maret 1956 – Maret 1957)

Program Kabinet Ali II disebut Rencana Lima Tahun. Program ini memuat masalah jangka panjang, misalnya perjuangan mengembalikan Irian Barat. Muncul semangat anti- Cina dan kekacauan di daerah-daerah sehingga menyebabkan kabinet goyah. Akhirnya pada Maret 1957, Ali Sastroamijoyo menyerahkan mandatnya.
g. Kabinet Djuanda (Maret 1957 – April 1959)

Kabinet Djuanda sering dikatakan sebagai Zaken Kabinet, karena para menterinya merupakan ahli dan pakar di bidangnya masing-masing. Tugas Kabinet Djuanda melanjutkan perjuangan membebaskan Irian Barat dan menghadapi keadaan ekonomi dan keuangan yang buruk. Prestasi yang diraih adalah berhasil menetapkan lebar wilayah Indonesia menjadi 12 mil laut diukur dari garis dasar yang menghubungkan titik-titik terluar dari Pulau Indonesia. Ketetapan ini dikenal sebagai Deklarasi Djuanda. Kabinet ini menjadi demisioner ketika Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
2. Pelaksanaan Pemilu Tahun 1955

Penyelenggaraan Pemilu tahun 1955 merupakan pemilu yang pertama dilaksanakan oleh bangsa Indonesia. Pemilu diselenggarakan pada masa pemerintahan Kabinet Burhanudin Harahap. Pemilu dilaksanakan dalam dua tahap yaitu tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR, dan tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Badan Konstituante (Badan Pembentuk UUD).

JELI Jendela Info
Sejak tahun 1999, pemilu dilaksanakan dengan sistem multipartai dengan jumlah peserta 48 partai politik. Sedangkan pada pemilu tahun 2004, peserta pemilu sebanyak 24 partai politik.

Hasil pemilu tahun 1955 menunjukkan ada empat partai yang memperoleh suara terbanyak yaitu PNI (57 wakil), Masyumi (57 wakil), NU (45 wakil), dan PKI (39 wakil). Dari segi penyelenggaraan, pemilu tahun 1955 dapat dikatakan berjalan dengan bersih dan jujur karena suara yang diberikan masyarakat mencerminkan aspirasi dan kehendak politik mereka. Akan tetapi, kampanye yang relatif terlalu lama (2,5 tahun) dan bebas telah mengundang emosi politik yang amat tinggi, terutama kecintaan yang berlebihan terhadap partai. Pemilu tahun 1955 ternyata tidak mampu menciptakan stabilitas poltik seperti yang diharapkan. Bahkan muncul perpecahan antara pemerintahan pusat dengan beberapa daerah. Kondisi tersebut diperparah dengan ketidakmampuan anggota Konstituante untuk mencapai titik temu dalam menyusun UUD baru untuk mengatasi kondisi negara yang kritis. Pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit. Dekrit ini dikenal dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

D. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Dampak yang Ditimbulkan
1. Situasi Politik Menjelang Dekrit Presiden

Sistem Demokrasi Liberal ternyata membawa akibat yang kurang menguntungkan bagi stabilitas politik. Berbagai konflik muncul ke permukaan. Misalnya konflik ideologis, konflik antarkelompok dan daerah, konflik kepentingan antarpartai politik. Hal ini mendorong Presiden Soekarno untuk mengemukakan Konsepsi Presiden pada tanggal 21 Februari 1957.Berikut ini isi Konsepsi Presiden.

a. Penerapan sistem Demokrasi Parlementer secara Barat tidak cocok dengan kepribadian Indonesia, sehingga sistem demokrasi parlementer harus diganti dengan Demokrasi Terpimpin.

b. Membentuk Kabinet Gotong Royong yang anggotanya semua partai politik.

c. Segera dibentuk Dewan Nasional.

JELI Jendela Info
• Demokrasi Liberal adalah demokrasi yang memberi kebebasan yang seluasnya kepada warga negara. Indonesia. menganut Demokrasi Liberal pada tahun 1950-1959. Pada masa ini ditandai dengan pergantian kabinet yang memerintah.
• Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi yang dipimpin oleh sila keempat Pancasila. Namun oleh Presiden Soekarno diartikan terpimpin mutlak oleh presiden (penguasa). Berlaku di Indonesia pada tahun 1959-1965.'
2. Sidang Konstituante Menjelang Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Dari pemilu tahun 1955 terbentuk dewan konstituante. Badan ini bertugas menyusun UUD yang baru. Anggota Konstituante terbagi dalam dua kelompok yaitu kelompok Islam dan kelompo nasionalis, kedua kelompok sulit mencapai kata sepakat dalam pembahasan isi UUD. Dalam sidang sering terjadi perpecahan pendapat. Setiap wakil partai memaksakan pendapatnya. Akibatnya gagal menghasilkan UUD. Hal ini mendorong presiden menganjurkan konstituante untuk kembali menggunakan UUD 1945. Untuk mewujudkan anjuran tersebut maka, diadakan pemungutan suara sampai tiga kali. Akan tetapi hasilnya belum mencapai batas quorum, dua pertiga suara. Akibatnya Dewan Konstituante gagal mengambil keputusan. Untuk mengatasi masalah tersebut pada tanggal 5 Juli 1959 presiden mengeluarkan dekrit. Isi Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yaitu:

a. pembubaran Konstituante;
b. berlakunya kembali UUD 1945, dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950;
c. akan dibentuk MPRS dan DPAS.



JELI Jendela Info
Dekrit Presiden adalah keputusan pemerintah di bidang ketatanegaraan yang bersifat mengikat. Agar berlaku efektif, dekrit biasanya harus mendapat dukungan dari kekuatan politik, parlemen, dan militer.

Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit sebagai langkah untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Keluarnya Dekrit Presiden menandai berakhirnya Demokrasi Liberal dan dimulainya Demokrasi Terpimpin.
3. Tindak Lanjut Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Setelah keluarnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 terjadi beberapa perkembangan politik dan ketatanegaraan di Indonesia.

a. Pembentukan Kabinet Kerja, dengan programnya yang disebut Tri Program, isinya:
1) memperlengkapi sandang pangan rakyat,
2) menyelenggarakan keamanan rakyat dan negara, serta
3) melanjutkan perjuangan menentang imperialisme untuk mengembalikan Irian Barat.
b. Penetapan DPR hasil pemilu 1955 menjadi DPR tanggal 23 Juli 1959.
c. Pembentukan MPRS dan DPAS. Tugas MPRS adalah menetapkan GBHN. Sedangkan tugas DPAS adalah sebagai penasihat atau memberi pertimbangan pada presiden.
d. MPRS dan DPAS juga dibentuk BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dan Mahkamah Agung (MA). BPK bertugas memeriksa penggunaan uang negara oleh pemerintah, MA berperan sebagai lembaga tinggi negara.
e. Pembentukan DPR-GR. Pada tahun 1960, Presiden Soekarno membubarkan DPR hasil pemilu. Alasannya adalah penolakan DPR terhadap usulan Anggaran Belanja Negara yang diajukan presiden. Selanjutnya pada tanggal 24 Juni 1960, Presiden Soekarno membentuk DPR-GR (DPR Gotong Royong).
f. Pembentukan Dewan Perancang Nasional (Depernas) dan Front Nasional. Depernas bertugas menyusun rancangan pembangunan semesta yang berpola delapan tahun. Front Nasional tugasnya mengerahkan massa. Badan ini berperan penting dalam pengganyangan Malaysia dan pembebasan Irian Barat, terutama melalui Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB).
g. Penetapan GBHN. Manifesto Politik (Manipol) merupakan sebutan pidato Presiden Soekarno dalam peringatan hari Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1959. Pidato tersebut aslinya berjudul” Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Oleh DPAS dalam sidangnya tanggal 23-25 September 1959, diusulkan agar Manipol ditetapkan sebagai GBHN. Manipol itu mencakup USDEK yang terdiri dari UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia. Manipol dan USDEK sering disebut dengan Manipol USDEK.

Dalam Tap MPRS itu juga diputuskan bahwa pidato presiden “Jalannya Revolusi Kita” dan “To Build the World a New” (membangun dunia kembali) Menjadi pedoman pelaksanaan Manifesto Politik.
4. Dampak Lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Dekrit Presiden ternyata memiliki beberapa dampak, berikut.
a. Terbentuknya lembaga-lembaga baru yang sesuai dengan tuntutan UUD 1945, misalnya MPRS dan DPAS.
b. Bangsa Indonesia terhindar dari konflik yang berkepanjangan yang sangat membahayakan persatuan dan kesatuan.
c. Kekuatan militer semakin aktif dan memegang peranan penting dalam percaturan politik di Indonesia.
d. Presiden Soekarno menerapkan Demokrasi Terpimpin.
e. Memberi kemantapan kekuasaan yang besar kepada presiden, MPR, maupun lembaga tinggi negara lainnya.
E. Kehidupan Politik pada Masa Demokrasi Terpimpin
1. Kondisi Politik Dalam Negeri pada Masa Demokrasi Terpimpin

Demokrasi Terpimpin yang menggantikan sistem Demokrasi Liberal, berlaku tahun 1959 – 1965. Pada masa Demokrasi Terpimpin kekuasaan presiden sangat besar sehingga cenderung ke arah otoriter. Akibatnya sering terjadi penyimpangan terhadap UUD 1945. Berikut ini beberapa penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD 1945 yang terjadi semasa Demokrasi Terpimpin.
a. Pembentukan MPRS melalui Penetapan Presiden No. 2/1959.
b. Anggota MPRS ditunjuk dan diangkat oleh presiden.
c. Presiden membubarkan DPR hasil pemilu tahun 1955.
d. GBHN yang bersumber pada pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” ditetapkan oleh DPA bukan oleh MPRS.
e. Pengangkatan presiden seumur hidup.

JELI Jendela Info
Menurut Bung Hatta, Demokrasi Terpimpin sebagai sebuah konsepsi mempunyai tujuan baik, tetapi cara-cara dan langkah-langkah yang hendak diambil untuk melaksanakannya terlihat menjauhkan dari tujuan baik tersebut. Hal ini terbukti dengan beberapa tindakan Presiden Soekarno, di antaranya membubarkan DPR hasil Pemilu.

Dalam periode Demokrasi Terpimpin, Partai Komunis Indonesia (PKI) berusaha menempatkan dirinya sebagai golongan yang Pancasilais. Kekuatan politik pada Demokrasi Terpimpin terpusat di tangan Presiden Soekarno dengan TNI-AD dan PKI di sampingnya. Ajaran Nasakom (Nasionalis-Agama-Komunis) ciptaan Presiden Soekarno sangat menguntungkan PKI. Ajaran Nasakom menempatkan PKI sebagai unsur yang sah dalam konstelasi politik Indonesia. Dengan demikian kedudukan PKI semakin kuat PKI semakin meningkatkan kegiatannya dengan berbagai isu yang memberi citra sebagai partai yang paling manipolis dan pendukung Bung Karno yang paling setia. Selama masa Demokrasi Terpimpin, PKI terus melaksanakan program-programnya secara revolusioner. Bahkan mampu menguasai konstelasi politik. Puncak kegiatan PKI adalah melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang sah pada tanggal 30 September 1965.
2. Politik Luar Negeri Masa Demokrasi Terpimpin

Politik luar negeri masa Demokrasi Terpimpin lebih condong ke blok Timur. Indonesia banyak melakukan kerja sama dengan negara-negara blok komunis, seperti Uni Soviet, RRC, Kamboja, maupun Vietnam. Berikut ini beberapa contoh pelaksanaan politik luar negeri masa Demokrasi Terpimpin.

JELI Jendela Info
Menurut UUD 1945, politik luar negeri yang dianut bangsa Indonesia adalah politik luar negeri bebas aktif. Bebas artinya tidak memihak terhadap dua blok yang saat itu sedang konflik yaitu blok Barat dan Blok Timur. Konsep aktif bermakna Indonesia senantiasa ikut serta aktif dan berpartisipasi dalam mewujudkan perdamaian dunia.
a. Oldefo dan Nefo

Oldefo (The Old Established Forces), yaitu dunia lama yang sudah mapan ekonominya, khususnya negara-negara Barat yang kapitalis. Nefo (The New Emerging Forces), yaitu negara-negara baru. Indonesia menjauhkan diri dari negara-negara kapitalis (blok oldefo) dan menjalin kerja sama dengan negara-negara komunis (blok nefo). Hal ini terlihat dengan terbentuknya Poros Jakarta – Peking (Indonesia – Cina) dan Poros Jakarta – Pnom Penh – Hanoi – Peking – Pyongyang ( Indonesia – Kamboja – Vietnam Utara - Cina – Korea Utara).
b. Konfrontasi dengan Malaysia

Pada tahun 1961 muncul rencana pembentukan negara Federasi Malaysia yang terdiri dari Persekutuan Tanah Melayu, Singapura, Serawak, Brunei, dan Sabah. Rencana tersebut ditentang oleh Presiden Soekarno karena dianggap sebagai proyek neokolonialisme dan dapat membahayakan revolusi Indonesia yang belum selesai. Keberatan atas pembentukan Federasi Malaysia juga muncul dari Filipina yang mengklaim daerah Sabah sebagai wilayah negaranya. Pada tanggal 9 Juli 1963 Perdana Menteri Tengku Abdul Rahman menandatangani dokumen tentang pembentukan Federasi Malaysia. Kemudian, tanggal 16 September 1963 pemerintah Malaya memproklamasikan berdirinya Federasi Malaysia.

JELI Jendela Informasi
Dalam rangka konfrontasi Malaysia, Indonesia juga mengadakan operasi militer yang diberi nama “Operasi Siaga” yang berupa penyusupan pasukan Indonesia ke wilayah musuh di Semenanjung Malaya dan Kalimantan Utara. Panglima Siaga yang ditunjuk oleh Presiden Soekarno adalah Marsekal Madya Umar Dhani.

Menghadapi tindakan Malaysia tersebut, Indonesia mengambil kebijakan konfrontasi. Pada tanggal 17 September 1963 hubungan diplomatik antara dua negara putus. Selanjutnya pada tanggal 3 Mei 1964 Presiden Soekarno mengeluarkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora), isinya:
1) perhebat ketahanan revolusi Indonesia, dan
2) bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Serawak, Sabah, dan Brunei untuk memerdekakan diri dan menggagalkan negara boneka Malaysia.

Di tengah situasi konflik Indonesia - Malaysia, Malaysia dicalonkan sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Masalah ini mendapat reaksi keras dari Presiden Soekarno. Namun akhirnya Malaysia tetap terpilih sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Terpilihnya Malaysia tersebut mendorong Indonesia keluar dari PBB. Secara resmi Indonesia keluar dari PBB pada tanggal 7 Januari 1965.


CATTING Catatan Penting
Pasca pengakuan kedaulatan, bangsa Indonesia mengalami permasalahanekonomi yang sangat kompleks. Misalnya inflasi tinggi, rusaknya infrastruktur,hutang negara meningkat, defisit anggaran, rendahnya investasi, dan lainsebagainya.
Langkah yang diambil pemerintah Indonesia dalam mengatasi masalahekonomi pasca pengakuan kedaulatan, antara lain kebijakan pemotonganuang, konsep ekonomi nasional, program gerakan benteng, kebijakanIndonesianisasi, dan lain-lain.
Di bidang politik, sesuai dengan isi UUDS 1950, maka Indonesia menerapkanDemokrasi Liberal dengan sistem kabinet parlementer. Akibatnya munculbanyak partai politik. Di sisi lain sistem pemerintahan tidak stabil karenasering terjadi pergantian kabinet. Beberapa kabinet yang memerintah padamasa Demokrasi Liberal antara lain Kabinet Natsir, Sukiman, Wilopo, AliSastroamijoyo I, Burhanudin Harahap, Ali Sastroamijoyo II, dan Djuanda.
Pemilu tahun 1955 dilaksanakan dua tahap, yaitu 29 September 1955 untukmemilih anggota DPR dan tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggotakonstituante. Pemilu ini ternyata tidak mampu menciptakan stabilitas politik.
Konstituante yang diharapkan mampu menghasilkan UUD ternyata gagal,sehingga tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presidenyang membubarkan Konstituante, menyatakan kembali ke UUD 1945, dan pembentukan MPRS dan DPAS. Keluarnya Dekrit Presiden menjadi tonggak lahirnya Demokrasi Terpimpin.
Pada masa Demokrasi Terpimpin terjadi beberapa penyimpangan terhadap Pancasila, dan UUD 1945 termasuk kebijakan politik luar negeri. Pembubaran DPR hasil pemilu, pengangkatan presiden seumur hidup, terbentuknya poros Jakarta-Peking, konfrontasi dengan Malaysia, sampai keluarnya Indonesia dari keanggotaan PBB merupakan sejumlah contoh dari penyimpangan tersebut.